Saturday, March 10, 2012

BOLANG – Ornamen Tradisional Mandailing


BOLANG – Ornamen Tradisional Mandailing

Oleh: Edi Nasution
Di Mandailing, berbagai macam bentuk ornamen (hiasan) tradisional dapat kitatemukan pada bagian tutup ari dari Sopo Godang (Balai Sidang Adat) danBagas Godang (Rumah Besar Raja). Dalam bahasa Mandailing, ornamen-ornamen tersebut disebut bolang yang juga berfungsi sebagai simbol atau lambang itu memiliki makna-makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Mandailing. Di dalamnyaterkandung nilai-nilai, gagasan-gagasan, konsep-konsep, norma-norma, kaidah-kaidah, hukum dan ketentuan adat-istiadat yang menjadi landasan dan pegangan dalammengharungi bahtera kehidupan. Bolang atau ornament tradisionalMandailing yang digunakan sebagai Tutup Ariperlambang itu terbuat dari tiga jenismaterial: (1) tumbuh-tumbuhan, seperti batang bambu yang melambangkan huta atau bona bulu; burangir atau aropik melambangkan Raja dan Namora Natoras sebagai tempat meminta pertolongan; pusuk ni robung yang disebut bindu melambangkan adat Dalian Na Tolu atau adat Markoum-Sisolkot; (2) hewan atau binatang, seperti hala dan lipan melambangkan “bisa” yang mempunyai kekuatan hukum; ulok melambangkan keberasaran dan kemuliaan; parapoti melambangkan kegiatan mencari nafkah untuk menghidupi keluarga; tanduk ni orbo melambangkan bangsawanan; (3) peralatan hidup sehari-hari, seperti timbangan dan podang melambangkan keadilan; takar melambangkan pertolongan bagi yang membutuhkan; loting melambangkan usaha-usaha dalam mencari nafkah, dan lain sebagainya.
Pembuatan bolang pada Sopo Godang dan Bagas Godang ini dilakukan dengan cara menganyam atau menjalin dan ada pula yang diukir. Bahan yang dipakai sebagai bahan anyaman adalah lembaran-lembaran bambu yang telah diarit dengan bentuk-bentuk terentu dan kemudian dipasang pada bagian tutup ari. Ornamen-ornamen itu sebagian besar diberi warna na rara (merah), na lomlom (hitam) dan na bontar (putih) yang erat kaitannya dengan kosmologi Mandailing. Dalam hal ini, na rara melambangkan kekuatan, keberanian dan kepahlawanan; na bontar melambangkan kesucian, kejujuran dan kebaikan; na lomlom melambangkan kegaiban (alam gaib) dalam sistem kepercayaan animisme yang disebut Sipelebegu. Berikut ini diterakan ornamen-ornamen yang terdapat pada tutup ari dari Sopo Godang dan Bagas Godang.
1. Bona Bulu melambangkan sistem pemerintahan Huta
Makna: Suatu wilayah pemukiman telah dapat dikategorikan sebagai huta atau bona bulu apabila sarana dan prasarananya telah lengkap antara lain: unsur-unsur Dalian Na Tolu (Mora, Kahanggi dan Anak Boru), Raja Pamusuk, Namora Natoras, Ulubalang, Bayo-bayo Nagodang, Datu dan Sibaso.
2. Bindu / Pusuk ni Robung melambangkan sistem organisasi sosial
Makna: Kehidupan sosial-budaya masyarakat Mandailing berlandaskan Adat Dalian Na Tolu (Tiga Tungku Sejarangan) atau Adat Markoum-Sisolkot (adat berkaum-kerabat)
3. Burangir / Aropik melambangkan fungsi Raja dan Namora Natoras
Makna: Segala sesuatu perihal, baik itu menyangkut pelaksanaan upacara adat dan ritual harus terlebih dahulu meminta pertimbangan dan ijin kepada Raja dan Namora Natoras.
4. Sipatomu-tomu melambangkan hak dan kewajiban Raja dan rakyatnya
Makna: Raja berkewajiban menjaga dan memelihara ketertiban dalam masyarakat agar mereka dapat hidup aman dan damai serta saling menghormati antar sesama demi tegaknya hukum dan adat.
5. Bintang na Toras melambangkan pendiri huta
Makna: Huta tersebut didirikan oleh Natoras yang sekaligus berkedudukan sebagai pimpinan pemerintahan dan pimpinan adat yang dilengkapi dengan Hulubalang, Bayo-bayo Nagodang, Datu, dan Sibaso.
6. Rudang melambangkan suatu Huta yang sempurna
Makna: Huta tersebut lengkap dengan segala atribut kebesaran adatnya seperti pakaian adat, uning-uningan, senjata dan lain sebagainya.
7. Raga-raga melambangkan keteraturan dan keharmonisan hidup bersama
Makna: Hubungan antar kekerabatan sangat erat dan berlangsung secara harmonis dengan terjadinya hubungan perkawinan antar marga (klan), baik sesama warga huta maupun dengan orang yang berasal dari huta lain.
8. Sancang Duri melambangkan suatu kejadian yang tak terduga
Makna: Seseorang yang datang ke suatu huta dan ia langsung ke Sopo Godang, maka Namora Natoras wajib memberinya makan selama ia berada di huta itu, dan apabila ia meninggalkan huta harus diberi bekal makanan.
9. Jagar-jagar melambangkan kepatuhan masyarakat terhadap adat-istiadat
Makna: Dalam setiap huta telah ada ketentuan mengenai adat Marraja, adat Marmora, Markahanggi, Maranak boru, dan adat Naposo Nauli Bulung.
10. Bondul na Opat melambangkan ketentuan dalam berperkara
Makna: Setiap perkara adat akan diselesaikan di Sopo Godang (Balai Sidang Adat) oleh Namora Natoras, dan keputusan yang diambil harus adil sehingga tidak merugikan para pihak yang berperkara.
11. Alaman Bolak (Alaman Silangse Utang) melambangkan wewenang dan kekuasaan Raja
Makna: Kalau terjadi perkelaian misalnya dan salah seorang diantaranya berlari ke Alaman Bolak yang terdapat di depan Bagas Godang (Istana Raja), maka orang tersebut tidak boleh diganggu oleh siapapun. Kalau ada orang lain yang mengganggu, maka yang menjadi lawannya adalah semua warga huta.
12. Bulan melambangkan pelita hidup
Makna: Bulan yang bersinar pada malam hari dapat menerangi mata hati segenap warga huta itu akan membawa mereka menuju taraf hidup yang lebih baik yaitu keberuntungan, kemuliaan dan kesejahteraan.
13. Mataniari melambangkan Raja yang adil dan bijaksana
Makna: Seorang Raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana akan membuat segenap warga huta merasa bahagia. Raja harus menjadi pelindung rakyatnya dalam segala hal, baik dalam adat maupun menyangkut kehidupan sehari-hari. Sikap Raja yang demikian disebut marsomba di balian marsomba di bagasan.
14. Gimbang melambangkan tingkat kepedulian sosial Raja yang tinggi
Makna: Kepemilikan Raja atas sawah yang cukup luas dan persediaan bahan makanan (padi) yang cukup itu menjadi parsalian (tempat memohon bantuan) bagi setiap warga huta yang kekurangan bahan makanan.
15. Takar melambangkan keadilan social-ekonomi bagi setiap orang
Makna: Setiap warga huta yang sedang mengalami kesusahan baik masalah makanan maupun hal-hal lainnya dapat meminta bantuan Raja. Demikian pula setiap orang wajib menolong orang lain yang kesusahan, baik pertolongan moril maupun materil.
16. Lading / Upak melambangkan kesiap-siagaan
Makna: Benda tajam ini cukup penting ini dalam berbagai aktifitas kehidupan sehari-hari. Selain itu juga dapat berguna sebagai senjata ketika pergi ke tengah hutan untuk berburu atau untuk kepentingan lainnya.
17. Podang melambangkan penegakan hukum
Makna: Terhadap seseorang yang melanggar hukum, raja memiliki wewenang untuk memumutuskan apakah seseorang yang telah terbukti bersalah itu di hukum mati atau hukum gantung maupun hukuman buang (Pahabang Manuk Na Bontar).
18. Tanduk ni Orbo melambangkan kebangsawanan dan kekuasaan
Makna: Setiap rumah yang memiliki tanduk kerbau pada bagian atas atap rumahnya menandakan bahwa yang punya rumah adalah Raja atau kaum Bangsawan yang memiliki pengaruh atau kekuasaan di dalam suatu huta.
19. Lipan melambangkan asas permusyawaratan untuk mufakat
Makna: Setiap keputusan yang dihasilkan berdasarkan musyawarah bersama untuk mufakat merupakan landasan hukum yang memiliki kekuatan tetap dan bersifat memaksa.
20. Ulok melambangkan kedudukan dan fungsi Raja
Makna: Raja pada setiap Huta memiliki kemuliaan dan kebesaran yang berfungsi sebagai pelindung dan pemersatu bagi segenap rakyatnya.
21. Hala melambangkan asas permusyawaratan untuk mufakat
Makna: Keputusan bersama yang disebut ”Janjian” adalah dasar hukum yang paling kuat dan tidak dapat dibantuk oleh pihak manapun juga. Maknanya kurang lebih sama dengan pengertian lipan.
21. Barapati / Parapoti melambangkan kegiatan mencari nafkah
Makna: Kegiatan mencari nafkah hidup seperti burung merpati yang terbang di pagi hari untuk mencari nafkah, dan pada sore hari kembali ke rumah dengan membawa nafkah yang diperolehnya untuk dimakan bersama-sama keluarganya.
22. Manuk na Bontar melambangkan sanksi hukum yang berat
Makna: Setiap orang yang melanggar adat, misalnya kawin semarga (incest) dikenakan hukuman dengan memotong seekor kerbau
dan memberi makan orang banyak serta melepaskan seekor ayam putih (pahabang manuk na bontar). Orang yang melanggar adat ini selanjutnya diusir dari Huta dan hubungan kekerabatannya dengan warga Huta diputuskan pula.
23. Timbangan melambangkan kebenaran dan keadilan
Makna: Dalam memeriksa, membahas, menimbang serta memutuskan suatu perkara harus berdasarkan kebenaran dan keadilan serta bijaksana agar tidak menimbulkan perasaan tidak senang bagi pihak yang berperkara.
24. Bintang melambangkan Natoras
Makna: Dengan adanya lambang ini suatu pertanda bahwa di Huta tersebut ada Natoras sebagai pendiri Huta yang pertama sekali (Pamungka Huta).
25. Horis melambangkan kesejahteraan, keselamatan dan kedamaian
Makna: Raja dan rakyatnya hidup damai dan sejahtera, jauh dari segala gangguan marabahaya.
26. Gancip melambangkan tugas dan kewajiban Raja
Makna: Raja melaksanakan adat dan hukum secara adil dan bijaksana. Apabila rakyat memerlukan bantuan, maka Raja wajib menolongnya, baik itu bantuan moril maupun materil. Selain itu Raja harus bersikap tegas dan konsisten terhadap siapapun yang melakukan kesalahan diberi hukuman berdasarkan keputusan adat.
27. Loting Pak-pak melambangkan kesungguhan dalam berusaha dan bekerja
Makna: Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya maka setiap orang harus bekerja dan berusaha dengan menggunakan seluruh tenaga dan pikiran sehingga setiap pekerjaan tidak sia-sia dilakukan, tak ubahnya seperti besi dan batu yang apabila diadu akan menghasilkan percikan api (membuahkan hasil yang nyata).
28. Gumbot melambangkan Raja sebagai suri tauladan dan panutan rakyat
Makna: Sebagai seorang pemimpin yang beradat dan mengetahui hukum, maka seorang Raja harus memiliki sifat welas asih, lapang dada, respek dan memiliki etika yang tinggi sehingga ia selalu menjadi panutan rakyatnya.
29. Parbincar Mataniari melambangkan matahari sebagai sinar penerangi dalam kehidupan
Makna: Matahari diumpamakan sebagai penerangi dalam kehidupan, sumber rezeki dan penghidupan, kebahagiaan, kesejahteraan bagi Namora-Natoras dan seluruh rakyatnya. Ornamen ini terdapat di atas pintu masuk ruang tengah Bagas Godang.
Singengu
Huta Godang
Pakantan
REFERENSI
Informan
  1. Mangaraja Lelo Lubis (Medan)
  2. Z. Pangaduan Lubis (Medan)
  3. Zulkifli Matondang (Medan)
  4. Sutan Singasoro (Huta Godang)
  5. Sutan Baringin (Habincaran)
  6. Zulkarnain Nasution (Panyabungan)
  7. Mangaraja Sende Tua Lubis (Kotanopan)
  8. Raja Hidayat Nasution (Maga)
  9. Abdul Hakim Nasution gelar Batungkek (Tombang Bustak)
  10. Mangaraja Lobi Lubis (Huta Padang, Ulu Pungkut)
  11. Sutan Guru Panusunan Lubis (Tamiang)
  12. Burhanuddin Lubis (Huta Pungkut)
Buku
  1. Laporan Penelitian Pengumpulan dan Dokumentasi Ornamen Tradisional Di Sumatera Utara 1979/1980, (Medan: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi SumateraUtara).
  2. Z. Pangaduan Lubis, Namora Natoras: Kepemimpinan Tradicional Mandailing, (Skripsi Sarjana FISIP USU Medan, 1986).
  3. Z. Pangaduan Lubis, Kisal Asal-Usul Marga Di Mandailing, (Medan: Yayasan Pengkajian Budaya Mandailing /YAPEBUMA, 1986).
  4. Zulkifli B. Lubis, Manipol: Studi Orientasi Budaya Mandailing, (Skripsi Sarjana FISIP USU Medan, 1988).
  5. Buletin PARATA NA MALOS, (Medan: HIKMA Tingkat I Sumatera Utara).
  6. Buletin MANDAILING, (Medan: Yayasan Pengkajian Budaya Mandailing/YAPEBUMA).
  7. Raja Junjungan Lubis, ”Sirih Adat Lambang Persatu Paduan dan Kegotong Royongan ”dalam H. Anwar Harahap, (ed), Buku Warisan Marga-Marga Tapanuli Selatan Turun-Temurun, (Medan: Yayasan Manula Glamour, Punguan Marga-Marga Tapanuli Selatan, 1980).
  8. Siregar, Rukiyah & Ch. St. Tinggi Barani Perkasa Alam, Burangir Na Hombang, (Jakarta: Depdikbud, 1981).
  9. Edi Nasution, Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, (Penang: Areca Books, 2007).
Gandoang, 27 Agustus 2007
Biography Penulis:
hails from Gunung Tua-Muarasoro, Kotanopan – Mandailing Julu, where he was born on 13 March 1963. He obtained his bachelor degree in Ethnomusicology in 1995 from the University of North Sumatra (USU) in Medan, Indonesia. He is the author of Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, a study of Mandailing courtship music, published in 2007 by Areca Books (www.arecabooks.com) Penang, Malaysia.




No comments:

Post a Comment